Leo Sutrisno
Pertanyaan ini cukup menantang untuk
ditelaah. Masa depan yang menjanjikan karena
secara internasional pada2030 Indonesia (diramalkan) menjadi negara
dengan tata ekonomi terbesar ke-7 (Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's
Potential, McKinsey Global Institute,2012). Dalam posisi seperti itu,
diperkirakan diperlukan sekitar 110 juta tenaga kerja yang trampil menengah dan
berpengetahuan. Siapkah kita memasuki pasar kerja seperti itu. Waktu yang
tersisa sekitar 17 tahun-an. Kita masuk atau tetap menjadi tkw-tki.
Ada beberapa survei terkini yang perlu
dicermati;
1. Global creativity
index Indonesia hanya sekitar 0.04 sedikit di atas Kambodia. Itu berarti nomor
2 dari bawah. (Sumber: Martin Prosperity Institute (2011), Richard Florida
(2012), OECD, 2009. PISA: Key Finding: What students know and can do: Student
performance in reading, mathematics and science,2013)
2. Analisis Hasil
Programme for International Student Assessment (PISA); Trends in International
Mathematics and Science Study (TIMSS) serta Progress in International Reading
Literacy Study (PIRLS) menunjukkan bahwa hampir semua siswa indonesia hanya
menguasai pengetahuannya sampai level 3 saja, sementara negara lain banyak yang
sampai level 4, 5, bahkan 6. (Mendikbud, Pengarahan Kurikulum 2013 bagi
para instruktur, 4 Mei 2013).
Kiranya tidak berlebihan jika kita sendiri
mungkin merupakan bagian dari kelompok itu, kreativitas kita rendah/kurang.
Mengapa? Karena kita terlalu lama mengikuti praktek pembelajaran absolutisme.
Dalam tradisi absolutisme terjadi 'pemaksaan' menerima kebenaran yang datang
dari 'atas'. Akibatnya sejak usia dini hingga pasca sarjana kita kurang
memperoleh pelatihan yang mendorong serta meningkatkan kreativitas. Prektek ini
sangat disukai baik oleh pendidik (dosen) maupun oleh peserta didik (mahasiswa)
karena zona mereka tergolong nyaman (Leo Sutrisno, 2006).
Bagaimana cara kita keluar dari zona aman
sehingga kita lebih dapat meningkatkan kreativitas sendiri? Ada banyak
buku-buku motivator yang dapat dipelajari dan dipraktekkan. Namun, yang penting
adalah kesediaan diri untuk dipandang 'aneh' oleh banyak orang karena rasa
ingin tahunya yang meluap-luap dan memiliki stamina untuk mencoba
terus-menerus. Diingatkan bahwa kreativitas merupakan bagian sebuah proses termasuk proses-proses yang gagal.
Kreativitas merupakan salah satu 'power' untuk mewujudkan sesuatu yang tidak
terlihat oleh banyak orang. Kreativitas menyusup pada seluruh bagian dari hidup
seseorang, baik yang dipikirkan, dirasakan maupun yang dikerjakan.
Karena itu, orang kreatif cenderung akan
inovatif. Mereka akan selalu mengembangkan pertanyaan-pertanyaan; 'jika
tidak/bukan.....maka.....'. Sehingga apa yang dihasilkan akan lebih bermanfaat
dibandingkan dengan yang lain. Mereka akan lebih produktif.
Dalam konteks akademis, orang yang kreatif
akan melakukan penelitian yang mengandung unsur baru baik masalah, metode
maupun kedua-duanya. Tidak hanya itu, mereka juga akan berupaya untuk mengkomunikasikan temuannya kepada
khalayak yang lebih luas dalam bidangnya. Mereka akan menerbitkan buah pikiran
di berbagai jurnal ilmiah. Dengan publikasi seperti itu, diharapkan
temuan-temuannya dapat memperoleh pengakuan dari masyarakat pengguna (misalnya:
dijadikan referensi). Menurut catatan Wall Street Journal pada tahun 2011 yang
lalu tercatat di seluruh dunia beredar lebih dari 31 ribu jurnal ilmiah.
Bahkan, dikalangan para peneliti beredar 'yargon' "publish or perish"
terbit atau terkubur diam-diam. Tentu, bukan seperti yang dilakukan si
Peanut-nya Charleews Schulz yang mengharapkan imbalan dari tulisan yang
dikirimkan kepada penerbit. Justru sering terjadi sebaliknya, para penulis
artikel ilmiah hanya 'sharing' dana untuk menerbitkan tulisannya.
Sekali lagi diingatkan bahwa orang-orang kreatif, inovatif dan
produktif sering 'keluar' jalur yang digunakan oleh orang pada umumnya.
Beranikah kita? Semoga!
No comments:
Post a Comment